Jumat, 09 November 2012

critical review dari buku International Political Economy Interest and Institutions in the Global Economy

Tulisan ini berbentuk critical review dari buku International Political Economy Interest and Institutions in the Global Economy . Chapter 14 yang ditulis oleh Oatley, thomas. Diterbitkan oleh PEARSON Prentice Education, New york: 2006 edisi ke-2. Chapter 14 yang berjudul Developing countries and international Finance I: The Latin American Debt Crisissecara garis besar memperlihatkan bahwaPada 1970-an, dunia mengalami krisis utang di mana negara berkembang seperti Amerika Latin dan lainnyamempunyai permasalahan dengan sistem keuangan internasional. Sumber dari permasalahanya terletak pada kondisi dimana ada sebuah siklus kenaikan harga yang tidak bisa diubah secara tiba-tiba. Secara tipikal, siklus tersebut dimulai dengan adanya perubahan dari pasar modal internasional yang memberikan sebuah peluang baru bagi negara berkembang terutama negara Amerika latin untuk menarik investasi asing. Negara berkembang memiliki kemampuan dalam memanfaatkan peluang untuk memperoleh investasi asing agar dapat memacu pertumbuhan ekonominya. Sebaliknya negara berkembang mempunyai beban hutang sangat besar yang sulit untuk dibayar dan terdorong ke arah default. Ketika investasi asing dicabut dari negara berkembang, hal itu akan mengakibatkan krisis ekonomi. Pemerintah kemudian berpaling pada IMF dan Bank Dunia untuk memperoleh bantuan dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan reformasi ekonomi yang luas untuk mendapatkan bantuan tersebut. Dengan adanya aliran modal asing yang mengalir dan menjadi bagian dari negara berkembang telah berubah secara fundamental selama tahun 1970an. Bank-Bank swasta pun memulai memberikan pinjaman yang berat kepada kelompok negara berkembang terutama negara-negara di Amerika Latin. Selama dekade tersebut hutang Negara-negara di Amerika Latin meningkat secara dramatis, sebagian besar hutang Negara-negara tersebut dimiliki oleh bank komersial.Puncak dari krisis hutang luar negeri ini terjadi pada awal tahun 1980an, dibuktikan oleh ketidakmampuan pemerintah negara-negara Amerika Latin untuk membayar hutang luar negerinya. Kondisi tersebut membuat Bank komersil menghentikan pinjaman. Kombinasi dua faktor itu menimbulkan kenaikan permintaan dari negara berkembang dan juga keinginan bank swasta untuk menyediakan modal asing. Kenaikan permintaan pada modal asing pada negara berkembang disebabkan oleh pembangunan domestik dan internasional. Aliran modal tersebut menimbulkan jumlah hutang negara-negara berkembang meningkat dengan cepat. Pada tahun 1970 negara berkembang secara keseluruhan mempunyai hutang sebanyak 72,7 milyar dollar pada pemilik modal asing. Pada tahun 1980an total hutang luar negeri tadi mengalami lonjakan yang fantastis menjadi 586,7 milyar dollar. Kebanyakan hutang tersebut dimiliki oleh sebagian kecil negara. 30 negara penghutang terbanyak mempunyai hutang sebesar 461 milyar pada tahun 1980, mendekati sekitar 80% dari total hutang luar negeri negara berkembang. Amerika latin merupakan penghutang terbesar. Hutang luar negeri terbesar 7 negara amerika latin seperti Argentina, Brazil, Chili, Kolombia, Meksiko, Peru dan Venezuela meningkat 10 kali lipat antara tahun 1970 sampai 1982. Pada akhir tahun 1980an, tujuh negara tersebut mempunyai hutang sebesar 80% dari total hutang Negara Amerika Latin dan sekitar sepertiga dari total hutang luar negeri negara berkembang di dunia. Pada tahun 1982, 30 negara berkembang yang mempunyai hutang terbesar dan mempunyai hutang sebesar 600 milyar dollar pada pemilik modal asing. Hanya sedikit dari pemerintah tersebut mampu membayar hutangnya. Kekuatan internasional yang tidak seimbang mempengaruhi manajemen krisis tersebut. Koalisi kreditor yang didalamnya terdiri bank komersial, IMF dan negara-negara industri maju membuat rejim hutang internasional yang mendorong biaya dari krisis tersebut kepada negara-negara penerima pinjaman dengan menyediakan hubungan akses pada tambahan modal asing dengan mengadopsi reformasi kebijakan yang berorientasi pasar. Reformasi kebijakan yang berorientasi kepada pasar tersebut kemudian dikenal dengan kebijakan ekonomi neoliberal. Model neoliberal ini memberikan pengaruh terhadap stabilitas makro ekonomi. Kebanyakan dari negara-negara di Amerika Latin sekarang ini ditandai oleh inflasi digit tunggal. Bagi negara yang tidak menghiraukan model neoliberal ini (seperti Venezuela) masih mengalami inflasi yang tinggi. Dengan membuat keadaan ekonomi Amerika Latin lebih terintegrasi ke dalam ekonomi global, model ekonomi neoliberal juga membuat negara-negara di Amerika Latin menjadi saling tergantung antara satu dengan yang lain, dan peka terhadap pergeseran kearah ekonomi global. Dalam bab ini penulis fokus pada pemaparan dan beberapa solusi pada krisis yang terjadi di negara-negara berkembang Amerika Latin,dimana krisis ini pertama kali yang dialami oleh negara Amerika Latin selama post war period. Dengan adanya krisis selama 20 tahun ini membuat pemerintah secara regenerasi melakukan berbagai upaya untuk mengurangi krisis yang sedang terjadi dan saya sangat setuju dengan salah satu solusi penghapusan utang secara komersial. Krisis di Amerika latin jika dilihat dari pandangankrisis ini terjadi akibat besarnya beban hutang yang harus dibayar oleh negara di kawasan tersebut sehingga negara-negara tersebut terpaksa menghadapi hampir semua resiko kenaikan tingkat suku bunga, fluktuasi nilai tukar mata uang, atau penurunan pendapatan sehingga negara tersebut menemui kesulitan dalam membayar hutang-hutangnya. Negara yang merupakan pemegang tanggung jawab yang besar dalam masalah pembayaran hutang luar negeri akhirnya akan berada dalam posisi yang sulit, untuk membayar tunggakan hutangnya, negara mengorbankan pendidikan dan program-program kesehatan, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan. Joseph E. Stiglitz (2006), negara-negara dengan beban utang besar harus dimaafkan utangnya, karena kegagalan mereka dalam mengelola hutang bukan sepenuhnya tanggung jawab mereka, melainkan juga para pemberi hutang yang terlalu bersemangat dalam memberi hutang tanpa memperhitungkan layak atau tidaknya pemberian hutang tersebut. Selain itu, diperlukan sebuah rezim keuangan global yang lebih transparan. Selain itu negara-negara kreditor dipandang gagal dalam menerapkan manajemen resiko dan prinsip kehati-hatian dalam memberikan pinjaman. Masih menurut Stiglitz, pemerintah di negara-negara berkembang tidak seharusnya melaksanakan liberalisasi perdagangan yang terlalu cepat. Liberalisasi dilakukan dengan memperhatikan kondisi negara tersebut. Berbeda dengan krisis yang terjadi di Indonesia. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997 disebabkan oleh lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya. Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat disini adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik itu terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Jika dibandingkan dengan krisis di Amerika Latin pada tahun 1970-1980-an, secara riil kondisi utang yang menjerat Indonesia saat ini jauh lebih kronis. Ketika krisis Amerika Latin mencapai puncak (1983-1985), rasio utang dengan PDB (Produk Domestik Bruto) masih 47,2%. Tetapi, kondisi Indonesia rasionya sudah mencapai 97,3-101,5% di tahun 2000. Pada periode yang sama, Amerika Latin masih bisa menikmati investasi luar negeri (netto) yang lumayan. Ini ditunjukkan oleh rasio investasi terhadap PDB sebesar 5,5%. Sementara Indonesia justru terjadi disinvestasi, yaitu minus 2,2% (tahun 2000). Jadi, kondisinya memang sangat parah sekali. Dalam konteks menangani utang, pendekatan konvensional tidak lagi di gunakan. Penjadwalan (rescheduling) utang, misalnya. Cara-cara konvensional dipastikan tidak akan membawa pengaruh yang besar, apalagi menjadi obat mujarab bagi penyembuhan ekonomi dari krisis. Namun, ada dua peluang solusi penyelesaian utang secara radikal. Pertama, penghapusan utang secara komersial. Sudah pasti untuk merealisasikannya tidaklah gampang. Namun, ada preseden yang bisa dijadikan pegangan. Mexico, Brasil, Honduras, Cile, dan Argentina sudah pernah melakukannya ketika krisis utang menjerat Amerika Latin. Utang negara-negara itu didiskon 20%. Kemudian utang yang terdiskon diperdagangkan di pasar sekunder. Jika perekonomian membaik, nilai bisa naik, namun jika perekonomian memburuk nilai bisa turun. Masalahnya, bagaimana meyakinkan para pelaku ekonomi internasional, terutama bank-bank besar, untuk membentuk pasar sekunder. Sebab, tanpa pembentukkan pasar sekunder, skema penghapusan utang secara komersial tidak akan jalan. yang kedua, ada program resmi penyelamatan untuk negara-negara miskin yang terjebak utang. Namanya HIPC (High Indebted Poor Countries) inisiatif. Dalam skema ini ada fasilitas pemotongan utang bisa sampai 60%, tergantung kondisi negara. Sampai saat ini, sudah 35 negara mendapatkannya. Dari sepuluh negara besar yang terjebak utang (Indonesia berada di nomor 5), delapan negara mendapatkan, kecuali Indonesia dan Angola. Sebenarnya Indonesia sangat layak untuk mendapatkan fasilitas itu. Tapi kita enggan. Alasannya takut menimbulkan sinyal negatif dari IMF yang akhirnya berdampak tidak ada lagi fasilitas dari Paris Club. Pendek kata, kita ini negeri miskin yang malu mengakui miskin. Akhirnya, Indonesia akan selalu menjadi good boy IMF. Ini adalah mental orang terjajah.Selama ini, pemerintahan baru cuma ganti orang, tapi platform ekonominya tidak berubah.

Approaches to peace

Perang tampaknya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari manusia di bumi. Perang terjadi antara lain karena beberapa sebab antara lain yang disebutkan dalam buku yang ditulis Barash dalam Approaches to Peace, dimana dalam buku itu disebutkan bahwa perang terjadi disebabkan oleh banyak faktor yaitu, faktor pemimpin suatu negara yang cenderung diktator, faktor sejarah, faktor ekonomi, pembuatan keputusan, militer dan politik internasional suatu negara. Akan tetapi dalam kenyataanya, tidak satupun perang yang memiliki sebab tunggal. Untuk menghapus perang di bumi ini seringkali kita menggunakan berbagai perspektif antara lain yaitu : Idealis, Realis, Liberalisme klasik dan perspektif ekonomi politik. Akan tetapi karena potensi manusia ataupun negara untuk melakukan perang tetap ada, upaya menghapus perang menjadi tidak mudah, berbagai pemikiran tentang bagaimana mencegah perang berkembang begitu luas dan beragam, diantaranya memunculkan teori Balance of power atau perimbangan kekuatan. Kembali pada buku Barash, saya tidak setuju dengan statement dalam buku itu yang menyatakan bahwa perang itu merupakan naluri alamiah manusia dan merupakan kebutuhan manusia yang cenderung agresif ingin berperang. Saya lebih sependapat dengan Margaret Mead dalam artikelnya “Walfare Is Only n Invention- not a Biological Necessity dimana dalam artikel tersebut, beliau mengatakan bahwa perang adalah sebuah penemuan manusia bukan bagian alami dari manusia. Jika perang itu hanya naluri alami manusia dan merupakan kebutuhan biologis. Maka, tidak dapat kita pungkiri semua manusia akan menggunakan perang sebagai alat untuk memajukan peradaban mereka. Sebaliknya, karena perang adalah sebuah penemuan manusia dan bukan bagian kebutuhan biologis manusia maka perang itu bisa dan dapat di cegah. Buktinya, upaya untuk menghapus perang telah dilakukan sejak perang dunia 1 (1914-1918) yaitu berakhir dengan Liga Bangsa Bangsa (24 Oktober 1945). Walaupun upaya untuk menghentikan perang terasa sulit untuk dilakukan yang kenyataannya tetap ada perang setelah pembentukan Liga Bangsa-bangsa tersebut sebagai misal pada tahun 1990 Irak menyerbu Kuwait. Ditahun 1991 Amerika menyerang Irak dan kemudian setelah terjadi tragedi 11 september, Amerika kembali mengobarkan perang melawan teror dengan menginvasi Afganistan Oktober 2001 dan kemudian Irak maret 2003. Walaupun banyak terjadi perang tapi perang dapat dicegah dengan berbagai upaya perdamaian dengan beberapa negoisasi terhadap negara- negara yang bertikai.